Hobbit makhluk kerdil asal Flores, terus menimbulkan perdebatan di
antara para ahli. Terbaru, ilmuwan menilai hobbit berhubungan dengan
kompleksitas keluarga manusia.
Seperti yang dikutip dari
indocropcircles.wordpress.com,
hobbit seringkali dianggap spesies yang berbeda dari manusia karena
bertubuh kecil, manusia yang menderita penyakit tertentu atau malah
spesies berotak kecil yang mampu menggunakan alat.
Teori baru
Teori terbaru yang muncul di Journal of Human Evolution menyebutkan
bahwa makhluk ini berasal dari keturunan manusia berdasarkan urutan
sejarah pra-manusia setinggi 5 kaki yang punah lebih dari 12 ribu tahun
lalu.
Studi yang dilakukan oleh John Trueman dari Australian National
University ini menawarkan alternatif baru. Daripada menggolongkan hobbit
dalam pohon keluarga manusia, Trueman memandang ‘pohon keluarga’ ini
memiliki tiga dimensi yang saling berhubungan.
“Lebih baik menjelaskan hal ini dengan menganggap adanya
kompleksitas keturunan jauh kita, di mana menjadi tempat segala macam
spesies muncul jutaan tahun lalu”
Flores Island location in Indonesia
“Sayangnya, ada beberapa hal yang memisahkan kemudian
terjadi perkawinan dengan makhluk yang berbeda. Ini termasuk kelompok
spesies yang telah punah yaitu hobbit atau Homo floresiensis,” kata
Trueman.
Trueman beragumentasi bahwa analisis multidimensional ini memberikan
kejelasan soal sejarah hobbit kuno. Makhluk ini diperkirakan merupakan
keturunan Australopithecus africanus, spesies mirip kera yang hidup pada
masa dua juta tahun lalu. Spesies ini mengalami perkawinan silang
sehingga menciptakan keturunan baru.
Trueman juga setuju bahwa hobbit termasuk keturunan manusia kuno. Pernyataan ini turut pula diamini oleh Debbie Argue dari ANU.
“Trueman menampilkan hipotesis alternatif bagi
perkembangan manusia daripada sekadar pandangan alternatif bagi Homo
floresiensis,” kata Argue.
Argue juga melihat adanya kesamaan antara hobbit dengan manusia kuno
lainnya dalam penggunaan alat. Meskipun hobbit memiliki fitur primitif,
bentuk kerangka tengkorak spesies ini sedikit mirip dengan keluarga
manusia.
Workers excavate a cave at Liang Bua, Indonesia, on Monday, Sept.
12, 2009, where the 18,000-year-old skeleton of a dwarf cavewoman was
found in 2003. There is growing consensus that Homo floresiensis,
nicknamed “the hobbit,”and a dozen others found since then, are a new
hominid species. AP / Achmad Ibrahim
“Bentuk otak menjadi sangat penting untuk dipelajari daripada sekadar ukuran otak,” kata Argue lagi.
Flashback Tentang Hobit
Fosil kerangka kecil ‘hobit’ mirip manusia yang ditemukan di Liang Bua,
sebuah gua kapur di Flores, tahun 2003 lalu terus jadi misteri dalam
dunia arkeologi, apakah itu fosil anak kecil, atau manusia abnormal?
Pasalnya pemeriksaan tulang mengungkapkan kerangka tersebut bukan
seperti manusia pada umumnya. Fosil wanita purba yang diperkirakan
berusia 18.000 tahun itu jauh lebih kecil dari ukuran manusia purba
lainnya.
Meet the Familys
Arkeolog terkemuka menasbihkan fosil itu sebagai nenek moyang baru
manusia, Homo florensiesis yang disama-samakan dalam tokoh kerdil dalam
film ‘Lord of The Ring’, Frodo Baggins dan mendapat julukan ‘hobbit’.
Discovery
Seperti diberitakan
Discovery.com, penelitian terbaru yang
dimuat dalam Jurnal Boogeography yang dipimpin Hanneke Meijer dari Pusat
Penelitian Biodiversiti Belanda, menyajikan alternatif jawaban.
Catatan arkeologi menunjukkan, spesies nenek moyang manusia, ‘homo
erectus’ datang ke Flores, Nusa Tenggara Timur, pada masa pertengahan
jaman Pleistocene, antara 781.000 dan 126.000 tahun lalu.
Homo floresiensis tidak tampak di masa-masa akhir periode Pleistocene, antara 126.000 dan 12.000 tahun lalu.
Homo Floresiensis
Meijer yakin setelah masa isolasi Pulau Flores, homo erectus beradaptasi
dan berkembang menjadi hobbit, meski banyak arkeolog tak sepakat bahwa
manusia purba dari Flores yang berbadan dan berotak kecil itu adalah
metamorfosa dari homo erectus.
Kunci untuk memahami hobbit Flores, kata Meijer, adalah dengan
mempersempit lingkup cara pandang, yakni fokus pada lingkungannya di
Flores.
Dia menjelaskan, di Flores, menurut data fosil, beberapa penduduk
pulau, termasuk reptil dan mamalia, memiliki pengalaman pengkerdilan
(dwarfism) atau menjadi raksasa (gigantism).
Fakta menunjukan, bahwa kasus-kasus yang terjadi pada hewan yang
terisolasi akan mengalami perubahan besar tubuh secara drastis karena
perubahan pemangsaan atau sumber makanan.
Alih-alih melihat mundur, arkeolog harus melihat fenomena di Flores sebagai contoh adaptasi evolusioner.