Perilaku kanak-kanak sangat memengaruhi kepribadian seseorang saat
dewasa. Ketika anak gemar melakukan kekerasan, suka menggunakan
kata-kata manis untuk mendapatkan keinginannya tetapi berlaku kasar saat
tak tercapai, orangtua perlu waspada. Itu adalah sebagian gejala
perilaku gangguan kepribadian dissosial atau psikopati, seperti yang
dikutip dari
Alam Mengembang Jadi Guru
Gangguan kepribadian dissosial (GKDS) atau
antisocial personality disorder
adalah terminologi baru untuk gangguan psikopati. Gejala gangguan ini
bisa muncul sejak anak berumur kurang dari lima tahun, maka cermatilah
gejala gangguan psikopati.
Gangguan kepribadian itu dipicu adanya perbedaan besar antara
perilaku seseorang dan norma yang berlaku. Penderita GKDS tak peduli
dengan aturan atau kewajiban sosial. Perilakunya tak bertanggung jawab
dan cenderung menyalahkan orang lain.
Mereka juga mudah frustrasi, gampang melakukan kekerasan, tak punya
rasa bersalah, dan tak mampu mengambil pelajaran, bahkan dari hukuman.
Akibatnya, ia bisa melakukan hal kejam berulang-ulang.
Orang dengan GKDS juga tak bisa berempati, tak peduli perasaan orang
lain, dan hati nuraninya hampir mati. Mereka adalah pribadi yang amat
egosentris dan emosinya dangkal. Akibatnya, ia tak mampu memelihara
hubungan yang langgeng meski sebenarnya tak sulit melakukannya.
Penampilan fisik penderita GKDS atau psikopat sama seperti orang pada umumnya. Namun, perilaku dan cara berpikirnya amat kaku.
Kaku dengan teguh pendirian atau berprinsip itu dua hal berbeda.
Orang yang berprinsip tetap bisa luwes dan menerima masukan orang lain.
Adapun orang yang kaku sulit menerima dan menghargai perbedaan.
Dari gejala GKDS itu, perilaku yang mudah dilihat pada anak yang
berpotensi mengalami gangguan ini antara lain suka melakukan hal
berbahaya, senang melanggar hak orang, atau ketika minta maaf tak tulus.
Mereka juga suka menyiksa atau membunuh binatang dengan kejam, merusak
perabotan, atau membakar barang.
Mereka juga gemar melakukan kebohongan manipulatif, memanipulasi
orang lain untuk kepentingan pribadi serta impulsif atau bertindak
menurut gerak hati tanpa pikir panjang.
Meski gejalanya muncul sejak kanak-kanak, diagnosis gangguan itu baru
bisa ditegakkan saat seseorang telah berusia 18 tahun. Orang yang
menunjukkan perilaku GKDS tak bisa langsung dicap sebagai psikopat.
Butuh diagnosis khusus dan pengamatan jangka panjang terhadap penderita.
Mendiagnosis penderita GKDS juga bukan perkara mudah. Penderita
umumnya manis tutur katanya, pintar bicara dan persuasif tetapi
manipulatif. Mereka biasanya memiliki tingkat kecerdasan intelektual
(IQ) tinggi. Psikiater atau psikolog harus ekstra hati-hati karena bisa
justru menjadi korban manipulasi mereka.
Multifaktor
Munculnya gangguan itu dipicu banyak faktor. Salah satunya adalah
persoalan genetika yang diturunkan atau ada kerusakan pada otak.
Kent A Kiehl dan Joshua W Buckholtz dalam
Inside the Mind of a Psychopath di Scientific American Mind,
September/Oktober 2010 menulis, otak psikopat memproses informasi
secara berbeda dibandingkan dengan orang lain. Kondisi itu memengaruhi
kemampuan mereka merasakan emosi, membaca isyarat orang lain, atau
belajar dari kesalahan.
GKDS juga bisa dipicu faktor psikologis. Anak korban kekerasan atau
tinggal di lingkungan penuh kekerasan bisa mengalami gangguan itu. GKDS
juga bisa terpicu dari relasi penderita dengan orang lain, baik
keluarga, teman, atau lingkungan, juga rentan menderita gangguan. Pola
asuh yang salah bisa menimbulkan GKDS.
Skizofrenia
Masyarakat awam sering menyebut psikopat sebagai orang gila. Pemadanan
itu salah karena yang dianggap sebagai orang gila itu sebenarnya adalah
penderita skizofrenia.
Penderita skizofrenia mengalami hambatan berpikir, perasaan dan
perilaku yang tak sesuai realitas. Gejala skizofrenia biasanya baru
muncul saat seseorang sudah beranjak dewasa, bukan sejak anak-anak
seperti GKDS.
Penderita skizofrenia tak menyadari apa yang dilakukan. Akibatnya, ia
tak mampu menimbang baik-buruk, tak sadar dengan apa yang dilakukan,
tak punya tujuan dari tindakannya, bahkan tak sadar dengan dirinya.
Kondisi berkebalikan terjadi pada seorang psikopat atau penderita
GKDS. Mereka sadar dengan dirinya dan orang lain, sadar dengan apa yang
dilakukan, dan tujuan tindakannya adalah untuk keuntungan dirinya.
Skizofrenia jauh lebih mudah dideteksi serta diobati dan diterapi
dibandingkan dengan GKDS. Adapun GKDS bersifat menetap dan hanya bisa
dikelola dengan terapi intensif psikiater atau psikolog berpengalaman.
Obat bagi penderita GKDS hanya digunakan untuk mengatasi gejala amat
parah. Namun, obat itu tak bisa membuatnya menjadi seperti orang normal.
Walau GKDS menimbulkan parut di jiwa penderita, tetapi ia masih bisa
diperhalus agar tak bertambah parah. Namun, cacatnya tetap akan ada.
Dalam hukum pidana, penderita skizofrenia biasanya tidak dihukum.
Sementara dalam hukum agama, mereka umumnya dibebaskan dari sejumlah
kewajiban agama. Namun, seorang psikopat bisa dijatuhi hukuman.
Kepemimpinan
Prevalensi penderita GKDS di dunia diperkirakan 0,5 – 1 persen. Sebagian
besar di antara mereka justru bukan pembunuh dingin sadis yang ada
dalam penjara seperti dalam gambaran film atau novel, melainkan justru
aktif di masyarakat dan bekerja dalam berbagai profesi.
Eric Barker dalam
Which Professions Have the Most Psychopath? The Fewest? di
Time.com, 21 Maret 2014, menyebut tiga profesi yang banyak digeluti
penderita GKDS adalah pejabat eksekutif tertinggi (CEO), pengacara, dan
pekerja media elektronik.
Prevalensi psikopat pada kelompok pejabat eksekutif tertinggi, yakni
empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi di masyarakat
umum.
Sejumlah pemimpin dunia pun teridentifikasi sebagai psikopat. Mereka
umumnya adalah pemimpin negara yang gemar mengobarkan peperangan,
menebar kebencian, hingga membunuh jutaan manusia, termasuk rakyatnya
tanpa rasa bersalah.
Contoh paling sering disebut sebagai pemimpin yang psikopat adalah
pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Bahkan, psikiater Kanada, Phillip W Long,
menyebut Hittler tidak hanya menderita GKDS, tetapi juga paranoid
(curiga dan tak percaya orang lain) dan narsistik (mengagungkan diri
berlebih).
Sebaliknya, pemimpin yang sering dicontohkan berkebalikan dengan
karakter psikopat adalah pemimpin rakyat India, Mahatma Gandhi, tokoh
yang sederhana, merakyat, dan pejuang tanpa kekerasan.
Terkadang agresivitas diperlukan dalam sebuah kepemimpinan. Penderita
GKDS biasanya mempesona, penuh daya tarik, luwes, dan mudah
mempengaruhi orang lain. Karakter itu membuat seorang psikopat biasanya
memiliki banyak pengikut dan pengagum.
Saat menjadi pemimpin dan melakukan kesalahan, penderita GKDS mampu
menawarkan penjelasan yang seolah-olah masuk akal sehingga ia bisa
terlepas dari tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Bawahan atau
rakyat yang terpesona pun akan mudah memaafkannya, bahkan terus
mengagung-agungkannya.
Namun, rakyat atau bawahan yang terpesona dengan karisma dan
kata-kata pemimpin yang menderita GKDS itu akan sulit menumbuhkan
motivasi untuk maju. Kepemimpinan pemimpin yang psikopat sulit
menciptakan suasana adil dan setara karena semua komando dan kekuasaan
ada di tangan pemimpin.
Pemimpin dengan GKDS tak mau mendengar pendapat berbeda dan akan
melakukan apa pun agar orang setuju dengannya. Rakyat atau bawahan tak
boleh membantah jika tidak ingin menjadi korban agresivitas pemimpinnya.
Kondisi itu membuat tak akan ada persaingan sehat dalam dunia politik
karena semua lawan politik akan ditekan, diberi sanksi, bahkan dibasmi
oleh sang pemimpin psikopat.
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang Ciri Pemimpin Psikopat. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link https://inspirasime.blogspot.com/2014/08/ciri-pemimpin-psikopat.html. Terimakasih atas perhatiannya.